Ribuan bahkan
jutaan umat Islam dari seantero bumi ini yang mampu secara fisik-material dan
mental-spritual memenuhi panggilan Allah SWT yaitu ibadah haji, untuk memenuhi
ibadah haji seorang harus sadar dengan apa yang dilakukannya agar mampu
menghayati makna yang terkandung didalam ibadah haji tersebut. Sebab di
dalam menenuaikan ibadah haji tidak ada
pelayanan yang lebih mewah dan khusus seperti hidup di hotel berbintang yang
tinggal menekan bel dan kita akan mendapat fasilitas pelayanan yang kita
inginkan serta babu yang siap disuruh kesana kemari untuk melayani apa yang
kita butuhkan. Dan tidak ada pula keindahan ornamen bangunan di Ka’bah. Yang
ada hanyalah kekayaan perasaan yaitu
sentuhan hati antara sang pencipta dengan seorang hamba yang tidak dapat
digambarkan dengan kata-kata kecuali dengan perasaan.—mereka yang memahami ini,
hanyalah yang sadar apa yang mereka lakukan.
Dengan
menjalani rukun-rukun haji, para jamaah digiring untuk menghayati dan menyadari
akan dirinya. Seperti dalam gerakan thawaf yaitu mengelilingi ka’bah sebanyak
tujuh kali dengan berputar-putar. Yakni memberi pesan bahwa manusia harus
meninggalkan kelompoknya untuk menghampiri Allah SWT yang disimbolkan dengan “ka’bah”
–berputar-putar untuk sampai ketengah yaitu hajar aswad- setelah sampai
keporos berlahan-lahan pula orang tersebut mundur kebelakang dan bergabung lagi
dengan golongan/kelompoknya. Begitu pula wukuf di Arafah manusia dari berbagai
etnis, suku dan bangsa berkumpul dipadang yang panas dan kering untuk saling
mengenal satu sama lain dibawah bendera tauhid yaitu Islam.
Ibadah
haji yang syarat dengan kelelahan yaitu dijemur dibawah terik matahari, tanah
yang berdebu dan saling berdesak-desakan dalam menjalankan rukunnya tidak
membuat gentar para para jamaah haji untuk menjalankannya. Karena yang ingin
dicapai di sini bukanlah kesenangan dan kebahagian sementara, akan tetapi ridho
dari Allah SWT dengan merasakan kepuasaan spritual yang tiada tandingannya.
Maka
sangat ironis dalam memenuhi pangillan Allah ini, masih ada sebagian dari umat
Islam yang meminta pelayanan lebih dari manusia pada umumnya (manuisa lainnya)
karena memiliki jabatan dan keduudukan yang tinggi. Mereka tidak menyadari
bahwa kedudukan mereka sekarang sebagai tamu Allah SWT. dan bukan tamu negara,
yang dimata Allah SWT dipandang sama tanpa ada perbedaan yaitu sebagai hamba
yang hina dan selalu membutuhkan bantuan-Nya.
Pesan
persamaman hak dan derajat di dalam berhaji, pertama kali di berlakukan oleh
Allah dimiqat –batas untuk masuk wilayah haji- dengan dua kategori yakni bentuk
fisik dan non fisik. Dalam bentuk fisik Allah SWT menyuruh kepada tamunya untuk
melepaskan pakaian-pakaian kebangaan di dunia baik berupa jabatan, pangkat,
kedudukan maupun status sosial lainnya, dan pakaian kebangaan tersebut harus
digantikan dengan dua helai kain putih untuk pria dan kempat helai kain putih
untuk wanita. Kain putih ini
melambangkan kesucian dan kesamaan derajat disisi Allah SWT.
Kemudian
dalam bentuk non fisik Allah memerintahkan kepada tamunya untuk memperbaharui
niatnya di miqat bahwa ibadah yang mereka lakukan hanya untuk Allah dengan
melepaskan ego-ego pribadi yang dilambangkan dalam berbagai bentuk sifat
kebinatangan. Seperti singa yang melambangkan kekuasaan dan penindasan atas
yang lain, anjing yang melambangkan tipu muslihat dan keculasan serta domba
yang melambangkan penghambaan kepada sesama manusia, dan harus ditinggalkan di
miqat dan mengantikan dengan status tamu Allah yang tiada perbedaan yang semuanya
hanya mengharap ridho dari Allah SWT.
Setelah
melalui miqat tidak ada lagi perbedaan manusia dimata Allah. Tidak ada
perbedaan antara majikan dan karyawan, antara kulit hitam dan kulit putih serta
perbedaan antara si miskin dan si kaya dan perbedaan lainnya. Sebab perbedaan
sering kali membawa pelakunya kepada kesombongan dan keangkuhan seperti prilaku
iblis yang selalu merasa dirinya lebih baik dari yang lain, yang pada akhinya
membawa kepada kekufuran. (Qs[2]: 34, [7]:12)
Setelah
perbedaan-perbedaan ini di tinggalkan dimiqat, maka baru bisa manusia
menghampiri Allah yaitu dengan cara bersama-sama. Sebab bagaimanapun juga
manusia tidak akan mungkin dapat menghampiri Allah secara individu
(sendiri-sendiri) karena ia makhluk sosial yang membutuhkan bantuan Allah
melalui berbagai perantaraan manusia lainnya.
Tahap
selanjutnya setelah melaui miqat tersebut adalah keikhlasan. Tahap keikhlalsan
ini mencontohkan prilaku nabi Ibrahim as yang mengorbankan anaknya sendiri
sebagai buah hatinya yang diharap-harapkan kehadiranya di dunia dalam hidupnya,
tapi setelah Allah mengkaruniai anak kepadanya Allah pun meminta kepada Ibrahim
as untuk mengorbankan buah hatinya sebagai bentuk pengorbanan demi untuk
mencapai ridho-Nya atau sebagai lambang pengabdian seorang hamba kepada
Tuhannya.
Tanpa
berpikir panjang setelah mendapat perintah tersebut melalui mimpinya, nabi
Ibrahin pun meminta restu kepada anaknya dan anaknya Ismail pun merestuinya
demi untuk menjalankan perintah Allah. Maka dengan keikhlasan untuk menjalankan
perintah korban inilah nabi Ibrahim as mendapat predikat dari Allah sebagai khalilullah
(kekasih Allah).
Maka para jammah haji pun sebenarnya
dapat meniru tingkah laku nabi Ibrahim as serta mendapat predikat khalilullah
asalkan berani mengorbankan apa saja yang menjadi barang kesayangannya dan
lebih baik (Qs. [3]: 92), demi untuk mendapatkan ridho Allah SWT. sekalipun itu
adalah jiwanya.
Selain
pengorbankan dengan dasar keikhlasan hanya untuk Allah. Nabi Ibrahim pun
membawa pesan revolusi tauhid
yaitu menolak berbagai bentuk kemusyirikan, walaupun kemusyirikan itu
diajarkan atau diserukan oleh orang yang kita cintai dan teladani yaitu orang
tua sendiri. Tanpa kompromi nabi Ibrahim as menolak mentah-mentah kemusyirikan
yang diajarkan oleh orang tuanya dengan memperhatikan adab dan etika kesopanan
terhadap orang yang lebih tua darinya.
Yang
pasti nabi Ibarahim secara implisit mengajarkan kepada umat manusia betapa
perlunya mencari Tuhan dengan keyakinannya, tanpa mau menerima secara membabi
buta apa yang diajarkan oleh para leluhurnya (Qs. [7]:28 ) sebab penerimaan
akan ajaran leluhur tanpa mau mempertanyakan akan kebenarannya itu hanyalah
taklid buta yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Sedangkan
Allah mengecam mereka yang melakukan taklid buta seperti keledai yang membawa
barang dagangan, tapi ia tidak mengetahui apa barang yang dibawanya. Mereka
tidak menjadi dirinya sendiri tapi menjadi diri orang lain –yakni diri
leluhurnya- maka mereka tidak pernah menemukan kebenaran hakiki yaitu Allah
SWT. “barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”.
Maka
misi utama ibadah haji adalah menemukan kembali identitas menusia melalui
berbagai rukun-rukunnya seperti persamaan hak dan kewajiban yang bermula di
miqat, perkenalan di Arafah, penolakan terhadap kemusyirikan pada saat jumrah
serta menghampiri Allah dengan dilambangkan pada gerakan thowaf.
Ini semua mengenang
kembali kejadian-kejadian yang dilakukan orang-orang mulia seperti nabi Adam as, Ibrahim as, Ismail as, Siti Hawa dan
Siti Hajar yang menyadari betul akan kedudukannya sabagai hamba Allah SWT.
Dengan melalui perngorbanannya mereka mengenal dirinya, dan secara otomatis
mereka pun mengenal tuhannya yaitu Allah SWT. wallahu a’lam bissowab
0 komentar:
Post a Comment